Bulan Oktober 2010, temuan prasasti di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung Kota Bandung mulai diangkat media dan menjadi berita yang ramai dibicarakan orang. Masyarakat umum dan beberapa pejabat setingkat kelurahan hingga kota sempat beramai-ramai berkunjung ke sana. Namun, sekian lama berselang setelah temuan yang menghebohkan itu, kini prasasti tersebut seakan kembali dilupakan. Tidak ada yang berubah semenjak hari itu. Posisinya masih sama, teronggok di bawah papan seng berkarat dan sebuah terpal lusuh khas daerah kumuh, dihiasi dengan sampah bekas bungkus sachet sampo dan sabun cuci.
Upaya pelestarian dan pembebasan lahan situs bersejarah di Indonesia memang masih membawa banyak permasalahan. Kalaupun tidak dibiarkan terbengkalai, terkadang masyarakat pemilik lahan di temuan situs tersebut yang dirugikan karena tidak mendapatkan kompensasi yang sesuai dari pemerintah.
Tidak terlepas dari hal ini, ternyata masyarakat hanya melihat prasasti-prasasti kuno yang masih terdapat pada masa kini sebagai sebuah batu yang bernilai sejarah yang hanya patut untuk dijaga semata, bahkan beberapa pihak yang lain menganggapnya sakral dan lantas menjadikannya tempat untuk melakukan ritual dan memohon doa.
Kebanyakan masyarakat nyatanya telah lupa akan esensi yang terkandung dari keberadaan prasasti-prasasti tersebut.
Isi dari banyak prasasti yang ditemukan di nusantara telah menceritakan banyak hal. Tentang keagungan dan kejayaan masa lalu yang seharusnya menjadi motivasi penting untuk meraih kemajuan di tengah keterpurukan bangsa saat ini. Tentang kedermawanan para Raja mensedekahkan banyak hal untuk rakyatnya yang dapat menjadi refleksi atas perilaku pemimpin kita yang hanya mementingkan diri sendiri. Tentang banyak hal yang patut kita lakukan, dan tentang banyak hal lain yang tidak patut kita lakukan.
Lebih khususnya, seperti prasasti Cikapundung, banyak prasasti yang ditemukan di daerah Priangan mempunyai tema tentang penyampaian sebuah amanat / peringatan dari para leluhur kepada generasi penerusnya. Penafsiran isi prasasti Cikapundung bahwa setiap manusia di muka bumi akan menghadapi sesuatu (bencana), yang diperjelas oleh isi sebuah fragmen dalam prasasti Kawali VI di daerah Ciamis yang menyebutkan bahwa jangan serakah, karena akan menghadirkan kesengsaraan, secara tegas menyampaikan amanat bahwa setiap kesengsaraan, bencana, dan kerusakan yang dialami oleh manusia adalah karena perbuatan manusia yang telah salah mengatur sistem kehidupannya sendiri.
Kerusakan lingkungan sebagai bencana alam dan kemiskinan masyarakat sebagai bencana sosial adalah sebuah produk dari sistem pengaturan hidup yang salah. Kerusakan alam dan kemiskinan struktural yang tersitemasi adalah konsekuensi logis dari sebuah sistem kehidupan yang berlandaskan kepada kompetisi yang akumulatif dan ekspansif, sebuah sistem yang bergerak dengan semangat kebebasan untuk memupuk kekayaan pribadi sebesar-besarnya. Bukankah secara tegas isi dari kedua prasasti di atas telah jauh-jauh hari menentang hal ini, dengan memperingati jika manusia akan menemui sesuatu bencana dan kesengsaraan, jika mereka melegalkan segala bentuk keserakahan?.
Di sini kita tidak dapat menjustifikasi bahwa manusia saat ini sudah tidak dapat belajar dari sejarah, atau tidak lagi mengindahkan peringatan dari para leluhur mereka, karena dunia modern di mana kita tinggal telah begitu jauh menghegemoni pikiran kita bahwa masa lalu begitu berbeda dengan saat ini, yang oleh karenannya setiap produk dari masa lalu hanya pantas disimpan di dalam sebuah kaca museum atau di dalam sebuah pagar cagar budaya, lengkap dengan seluruh amanat bijak yang tersimpan di dalamnya.
Keberadaan prasasti Cikapundung saat ini, adalah sebuah gambaran tragis mengenai ketimpangan antara keagungan dan kebijaksanaan masa lalu dengan kondisi realitas sosial saat ini. Prasasti Cikapundung hanya menjadi sebuah batu yang teronggok begitu saja di tengah pemukiman kumuh yang menyedihkan. Kalaupun batu-batu prasasti dari masa lalu itu memang harus terpinggirkan dari masyarakaat modern seperti sekarang, seharusnya amanat mulia yang terkandung di dalamnya jangan juga ikut terpinggirkan, apalagi terlupakan.
Rizki
Upaya pelestarian dan pembebasan lahan situs bersejarah di Indonesia memang masih membawa banyak permasalahan. Kalaupun tidak dibiarkan terbengkalai, terkadang masyarakat pemilik lahan di temuan situs tersebut yang dirugikan karena tidak mendapatkan kompensasi yang sesuai dari pemerintah.
Tidak terlepas dari hal ini, ternyata masyarakat hanya melihat prasasti-prasasti kuno yang masih terdapat pada masa kini sebagai sebuah batu yang bernilai sejarah yang hanya patut untuk dijaga semata, bahkan beberapa pihak yang lain menganggapnya sakral dan lantas menjadikannya tempat untuk melakukan ritual dan memohon doa.
Kebanyakan masyarakat nyatanya telah lupa akan esensi yang terkandung dari keberadaan prasasti-prasasti tersebut.
Isi dari banyak prasasti yang ditemukan di nusantara telah menceritakan banyak hal. Tentang keagungan dan kejayaan masa lalu yang seharusnya menjadi motivasi penting untuk meraih kemajuan di tengah keterpurukan bangsa saat ini. Tentang kedermawanan para Raja mensedekahkan banyak hal untuk rakyatnya yang dapat menjadi refleksi atas perilaku pemimpin kita yang hanya mementingkan diri sendiri. Tentang banyak hal yang patut kita lakukan, dan tentang banyak hal lain yang tidak patut kita lakukan.
Lebih khususnya, seperti prasasti Cikapundung, banyak prasasti yang ditemukan di daerah Priangan mempunyai tema tentang penyampaian sebuah amanat / peringatan dari para leluhur kepada generasi penerusnya. Penafsiran isi prasasti Cikapundung bahwa setiap manusia di muka bumi akan menghadapi sesuatu (bencana), yang diperjelas oleh isi sebuah fragmen dalam prasasti Kawali VI di daerah Ciamis yang menyebutkan bahwa jangan serakah, karena akan menghadirkan kesengsaraan, secara tegas menyampaikan amanat bahwa setiap kesengsaraan, bencana, dan kerusakan yang dialami oleh manusia adalah karena perbuatan manusia yang telah salah mengatur sistem kehidupannya sendiri.
Kerusakan lingkungan sebagai bencana alam dan kemiskinan masyarakat sebagai bencana sosial adalah sebuah produk dari sistem pengaturan hidup yang salah. Kerusakan alam dan kemiskinan struktural yang tersitemasi adalah konsekuensi logis dari sebuah sistem kehidupan yang berlandaskan kepada kompetisi yang akumulatif dan ekspansif, sebuah sistem yang bergerak dengan semangat kebebasan untuk memupuk kekayaan pribadi sebesar-besarnya. Bukankah secara tegas isi dari kedua prasasti di atas telah jauh-jauh hari menentang hal ini, dengan memperingati jika manusia akan menemui sesuatu bencana dan kesengsaraan, jika mereka melegalkan segala bentuk keserakahan?.
Di sini kita tidak dapat menjustifikasi bahwa manusia saat ini sudah tidak dapat belajar dari sejarah, atau tidak lagi mengindahkan peringatan dari para leluhur mereka, karena dunia modern di mana kita tinggal telah begitu jauh menghegemoni pikiran kita bahwa masa lalu begitu berbeda dengan saat ini, yang oleh karenannya setiap produk dari masa lalu hanya pantas disimpan di dalam sebuah kaca museum atau di dalam sebuah pagar cagar budaya, lengkap dengan seluruh amanat bijak yang tersimpan di dalamnya.
Keberadaan prasasti Cikapundung saat ini, adalah sebuah gambaran tragis mengenai ketimpangan antara keagungan dan kebijaksanaan masa lalu dengan kondisi realitas sosial saat ini. Prasasti Cikapundung hanya menjadi sebuah batu yang teronggok begitu saja di tengah pemukiman kumuh yang menyedihkan. Kalaupun batu-batu prasasti dari masa lalu itu memang harus terpinggirkan dari masyarakaat modern seperti sekarang, seharusnya amanat mulia yang terkandung di dalamnya jangan juga ikut terpinggirkan, apalagi terlupakan.
Rizki